Jumat, 09 November 2007

ANTHURIUM : Yang Kaya Mendadak dari Anthurium

Rabu, 31 Oktober 2007
Matahari belum terbit di ufuk timur. Namun, Sutardi sudah menyambangi warung-warung di Kecamatan Ngarjoyoso, Kabupaten Karanganyar, untuk mengedarkan kerupuk karak. Lalu ia pergi ke kebun warisan orang tua seluas 1.500 m2 dan menjadi buruh tani di kebun orang lain. Itu rutinitas Sutardi 2 tahun silam. Kini, pekerjaan ayah 3 anak itu menyemai biji dan merawat bibit anthurium. Hasilnya, penghasilan per bulan melesat dari Rp270-ribu menjadi minimal Rp12-juta.
Pendapatan itu diperoleh dari penjualan biji dan bibit anthurium berdaun 1 helai. Tak pernah terpikir sebelumnya oleh Sutardi akan mendapat keuntungan tinggi dari bisnis raja daun itu. Sebab, ia sudah mengenal anthurium sejak 12 tahun silam.
Ketika itu Kacung-panggilan akrabnya-mendapat gratisan sepot Anthurium jenmanii berdaun 2-3 helai setinggi 10 cm dari rekannya, almarhum Margono. Di pasaran harganya hanya Rp4.000/pot. Jenmanii diletakkan di teras rumah, terkena terpaan angin dan hujan. 'Disiram kadang-kadang, jika tanaman terlihat mulai layu,' ungkap Sutardi.
Meski tak dirawat secara khusus, anthurium tumbuh sehat. Buktinya pada 2002, Sutardi memanen 200 biji jenmanii dari satu tongkol. Biji kemudian disemai di pot 10 cm, masing-masing berisi 5 biji/pot. Dua bulan kemudian, 4 bibit anthurium berdaun 2 helai dipindahkan ke pot tunggal. Sisanya tetap di pot semaian. Sebagian bibit jenmanii dipelihara dan sebagian lagi dijual ke pengunjung objek wisata di daerahnya. Alih profesi
'Saya tidak pernah menyangka harga anthurium akan selangit seperti sekarang,' kata pria kelahiran Karanganyar 39 tahun silam itu. Jenmanii pertama yang dipelihara sejak 12 tahun silam dan kini jadi induk ditawar Rp400-juta oleh rekannya dari Magelang. Karena itu-ketika harga jenmanii mulai merangkak naik sejak 2 tahun silam-Sutardi memutuskan untuk berhenti berjualan karak. 'Kalau sudah merasakan (menjual, red) jenmanii pasti berhenti,' tutur ayah 3 anak itu sambil tertawa.Maksudnya, beralih profesi.
Tak hanya berjualan karak yang ditinggalkan, pun berladang. Lahan sayuran dan cabai beralih rupa menjadi greenhouse berukuran 8 m x 18 m berisi bibit jenmanii. Kini, Sutardi menghabiskan hari-harinya dengan merawat laceleave, bergaul dengan sesama pemain, dan memburu anthurium pesanan. Dari bisnis bunga ekor, Kacung memperoleh 2 sepeda motor: Suzuki Smash dan Honda Grand, serta tanah seluas 600 m2.
Hasil pengamatan Trubus dan informasi dari pemain tanaman hias, banyak orang yang mendadak makmur gara-gara anthurium. 'Banyak yang baru beberapa bulan main bisa punya mobil,' kata Agus Gembong Kartiko, pemain tanaman hias senior di Batu, Jawa Timur.
Perubahan paling besar terihat di Karanganyar, Jawa Tengah. 'Dulu di Karanganyar sepi, sekarang banyak mobil yang lalu-lalang. Yang punya mobil pun sekarang banyak,' ujar Darmawan, salah seorang pionir anthurium di Karanganyar. Kesejahteraan masyarakat di sana meningkat.
Omzet berputar terkait anthurium pun tinggi. 'Perputaran uang di satu pekebun bisa Rp30-juta/hari. Di Karanganyar diperkirakan ada ratusan pekebun. Jadi omzet satu bulan bisa Rp1-triliun,' ujar Hj Rina Iriani Sri Ratnaningsih, Spd MHum, sang bupati. Tukang ojek
Tren anthurium memang membawa berkah. Banyak orang mendadak kaya. Selain Sutardi ada juga Sutarno di Desa Srandon, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Profesinya sebagai tukang ojek membuat ia sering mengamati orang-orang lalu-lalang membawa anthurium. Akhirnya pada awal 2006, Tepex-sapaan Sutarno-mencoba mendulang laba dari raja daun itu. Bersama Suyamto, sang sepupu, ia patungan membeli 100 hookeri berdaun 1 helai seharga Rp1.500/pot. 'Hookeri dipilih lantaran harganya paling murah,' imbuh pemilik nurseri Candak Cengkel itu.
Keesokan hari, hookeri dijual seharga Rp7.500/pot kepada seorang pemain pemula di Karangpandan. Lantaran laku, Tepex membeli 100 pot hookeri lagi seharga Rp1.000/pot. Lagi-lagi kerabat aglaonema itu ludes terjual. Dalam 2 hari, modal awal Rp150-ribu sudah berlipat jadi Rp1,5-juta. Dari situ usahanya terus berkembang. Jenis anthurium yang dipilih pun mulai meningkat ke jenmanii yang harganya lebih mahal, Rp21-ribu/pot.
Usaha yang dilakoni Tepex dan Gondel-sapaan Suyamto-berjalan mulus. Lima puluh bibit jenmanii 3-4 daun seharga Rp45-ribu/pot dan 500 wave of love berdaun 1 seharga Rp1.200/pot ludes di sebuah pameran di Yogyakarta dalam sehari. Kejadian serupa berulang hingga 5 kali selama pameran berlangsung.
Enam bulan berselang, kedua saudara itu menginvestasikan Rp20-juta untuk membangun greenhouse dan membeli 9.500 bibit jenmanii berdaun 1-2 helai seharga Rp16.000-Rp18.000/pot. Dalam kurun 2 bulan, bibit jenmanii dijual Rp35.000/pot. Bibit terjual hanya dengan 2 kali transaksi dengan 2 pembeli asal Semarang.
Dari keuntungan yang diperoleh, Tepex dan Gondel terus mengembangkan usaha. Pada Oktober 2006 mereka mulai membeli indukan anthurium secara bertahap seharga Rp3-juta-Rp4-juta. Satu indukan dijual Rp8-juta. Hingga Mei 2007, Tepex dan Gondel sudah menjual 20 indukan dengan keuntungan rata-rata Rp4-juta-Rp5-juta/tanaman.
Dalam setahun, dua bersaudara itu bisa membeli 5 sapi masing-masing senilai Rp10-juta, 2 mobil senilai Rp100-juta, tanah seluas 1.100 m2, dan indukan anthurium senilai Rp200-juta. Penghasilan itu jauh lebih besar dibandingkan ketika Tepex masih berprofesi sebagai tukang ojek dan Gondel usaha gips.
'Selama 3 tahun usaha gips, keuntungan hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebuah motor,' kata Gondel. Gondel menggambarkan, dari proyek gips, dengan modal Rp10-juta untungnya sekitar Rp500-ribu dalam 3 minggu. Anthurium dengan modal Rp10-juta, keuntungannya bisa Rp10-juta pula.Dokter
Manisnya laba dari anthurium juga membuat para pemilik modal besar ingin ikut mencicipi. Sebut saja seorang direktur sebuah rumahsakit di Jawa Tengah. Pada September 2006, pria kelahiran Sukoharjo itu pergi berlibur bersama keluarga ke Tawangmangu, Karanganyar. Gara-gara melihat kehidupan mapan para pekebun anthurium, anak ke-2 dari 6 bersaudara itu pun tergiur untuk membenamkan modal.
'Tanaman itu berprospek menghasilkan keuntungan tinggi, dilihat dari harganya yang terbilang eksklusif dibanding tanaman hias lain,' kata ayah 2 putra itu. Bermodalkan Rp200-juta, ia membangun nurseri, membeli bibit, dan indukan jenmanii. Empat bulan melakukan penjualan, Februari hingga Mei 2007, modal sudah kembali.
Untuk menambah modal usaha, mobil Baleno tahun 2005 dijual seharga Rp90-juta. Dari perniagaan anthurium, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu meraup laba bersih Rp50-juta per bulan. Pendapatan itu 5 kali lebih tinggi dibandingkan profesinya sebagai dokter. Di garasi rumahnya kini diparkir Suzuki Crossover dan APV sebagai pengganti Baleno.
Ispitri, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar, juga merasakan berkahnya. Ia mulai terjun ke anthurium sejak Februari 2006. Pendapatan terus meningkat dari
Rp2-juta-Rp3-juta/bulan jadi Rp10-juta-Rp25-juta/bulan. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan gajinya yang hanya Rp2-juta/bulan.
Wajar, belum genap 2 tahun berbisnis anthurium, Ispitri sudah bisa membeli mobil Kijang tahun 2000, motor Jupiter MX, dan merenovasi rumah. 'Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sudah jauh lebih dari cukup,' ujarnya. (sumber: http://http://www.trubus-online.com/)

Tidak ada komentar: